ungkapan kebersamaan, kerinduan, kesedihan, kebahagiaan dan kegilaan dalam karya kampusgampingan

Selasa, 05 Februari 2008

Masyarakat dan Desain







Sekitar tahun 1980-an kita kenal slogan ‘memasyarakatkan olah raga dan mengolah ragakan masyarakat’. Kala itu di setiap tempat, terutama di halaman sekolah-sekolah di negeri ini, khususnya pada pagi hari atau Jum’at pagi di halaman kantor-kantor berkumandang lagu Senam Kesegaran Jasmani yang mengiringi kita ber-SKJ. Kadang menjadi rutinitas yang membosankan dan jadi pembenaran untuk ‘menunda’ waktu bekerja. Di sisi lain upaya tersebut cukup efektif untuk mencapai tujuan agar tidak hanya jadi sekedar slogan.

Bagaimana dengan ‘memasyarakatkan desain dan membangun kesadaran desain pada masyarakat’? Dalam beberapa tahun terakhir para desainer grafis khususnya di bidang periklanan berhasil mengupayakan salah satunya melalui eksplorasi iklan-iklan di berbagai media yang berpeluang untuk diapresiasi langsung oleh masyarakat, juga dengan menggelar ajang penghargaan Citra Pariwara. Ada pula IGDS (Indonesia Good Design Selection) – seperti menurut Widagdo dalam bulletin HDII no.4 – yang dilaksanakan oleh Pusat Desain Nasional (PDN), sebagai bentuk pemilihan produk desain yang berkualitas baik IGDS merupakan salah satu upaya yang tepat untuk peningkatan apresiasi desain. Secara khusus kita sebagai desainer interior agaknya perlu juga mencari cara yang tepat guna untuk upaya memasyarakatkan, memopulerkan desain interior.

Publikasi desain sebagai ilmu dan karya atau produk melalui media massa baik cetak maupun elektronik terutama televisi, radio, dan internet menjadi sarana ampuh untuk merangsang dan meningkatkan daya apresiasi desain pada masyarakat. Perkembangan teknologi informasi terbukti mampu mendukung upaya publikasi, termasuk dalam hal upaya pembelajaran informal desain. Keberadaan program-program televisi, tabloid, majalah, artikel di media cetak lain yang membahas kasus desain interior merupakan salah satu cara efektif.

Kondisi masyarakat – termasuk kita – sebagai penyuka trend, ‘mimpi’, dan ‘gosip’ dapat juga menjadi pertimbangan untuk mencari cara tepat dalam penyampaian pengetahuan desain. Tingginya rating pemirsa sinetron, infotainment, dan reality show di media televisi menunjukkan karakter masyarakat tersebut. Suatu misi yang dikemas secara hiburan, interaktif, informal, dan ‘menyentuh sisi personal’ cenderung banyak diminati oleh berbagai kalangan. Tayangan ‘Bedah Rumah’ di salah satu stasiun televisi - terlepas dari pro kontra dan aspek komersial dari tayangan ini – merupakan satu upaya ‘mendekatkan’ desain pada masyarakat walau masih dalam tahap pendekatan desain yang sederhana. Kemasan program pembelajaran desain dalam bentuk edutainment dapat menjadi pilihan. Berbagai program yang telah ada selama ini dapat dikembangkan dengan sasaran yang lebih luas, ditujukan untuk seluruh lapisan masyarakat, baik tua, muda, di pedesaan, perkotaan, di pinggiran kali, di rumah susun ataupun di perumahan mewah.

Membangun kesadaran desain pada masyarakat mencakup upaya yang ‘lebih dalam’ daripada memasyarakatkan desain. Menentukan sebuah karya desain adalah desain yang ‘baik’ kita tahu tidaklah mudah, sangat relatif. Perlu pemahaman yang lebih jauh dan tidak hanya menjadi permasalahan ‘selera’ saja. Dalam hal ini kesadaran desain mencakup pula kesadaran estetika bentuk dalam arti luas : Estetika bentuk yang berkait dengan kebutuhan pemunculan jati diri, kesadaran konteks yang diterapkan dalam produk desain, baik yang dipakai dalam keseharian kita seperti kancing baju, jepit rambut, sikat gigi, pakaian sampai desain skala besar – rumah tinggal, bangunan publik dan kawasan.

Estetika merupakan salah satu aspek desain yang mengutamakan rasa, sisi personal dan manusiawi kita. Dengan demikian pemahaman ‘keindahan’ dapat menjadi modal kesadaran desain. Sejak kecil kita terus berestetika, dengan cara yang praktis, sederhana tentunya. Tentu kita ingat pengalaman kecil kita mengenal beragam warna, memadukan baju, tas dan sepatu kita, menentukan lagu favorit, memilih bungkus kado yang cantik dan banyak lagi yang merupakan cara sederhana melihat ‘keindahan’.

Sejalan dengan perkembangan jaman pemahaman akan suatu yang ‘indah’ tidak melulu secara fisik seperti harmonis, seimbang, selaras. ‘Indah’ menunjuk juga pada kualitas makna yang dikandung, bahkan sebuah eksistensi yang didasari oleh cerminan karakter dan ekspresi diri. Nilai ‘indah’ mengacu pada ungkapan kepribadian, ‘inner beauty’. Produk desain sesederhana, sekecil apapun dapat dimaknai sesuai dengan kejujuran fungsi, tujuan, sasaran, dan hal-hal lain yang mampu men-citra-kan pribadi pengguna ataupun esensi produk, ‘nilai’ kawasan, konteks, dll. Sebagai contoh : ‘indah’ pada eko desain mengacu pada keoptimalan dalam penyelarasan dengan alam, penerapan ‘ nilai-nilai kearifan’ termasuk pemanfaatan bahan dan konstruksi lokal, dll.

Penerapan mimpi, cerminan ‘citra lain’ di luar citra diri dapat saja bermakna, sah secara estetis, dan tidak sekedar ‘selera’ saja, asalkan pengguna sadar akan ‘tuntutan’ yang patut dipenuhi citra lain tersebut. Misalnya penerapan gaya klasik Eropa yang elegan, atau Minimalis yang fungsional sebagai pilihan berdasar trend, penunjukan status, dll. sebaiknya diimbangi pula dengan gaya hidup pengguna yang sesuai.

Keberhasilan ‘memasyarakatkan desain dan membangun kesadaran desain pada masyarakat’ tidak serta merta menghapus ‘bakat’ mengikuti trend ataupun memanfaatkan produk desain untuk penunjukan status. Keberagaman pola pikir dan cara menyikapi produk desain melatih kepekaan masyarakat dalam menentukan keputusan desain. Segala sesuatu dinilai menurut konteksnya, sepanjang tidak menyalahi norma-norma yang telah ada. Paling tidak sudah ada upaya mengoptimalkan fungsi dan tujuan desain yaitu meningkatkan kualitas hidup berbagai lapisan masyarakat.

Tidak ada komentar: